Entri Populer

Senin, 10 Januari 2011

POKOK-POKOK PIKIRAN TENTANG SOLIDARITAS SOSIAL


POKOK-POKOK PIKIRAN TENTANG SOLIDARITAS SOSIAL
(22 Desember hari Ibu dan Hari sosial)

1.     Bangsa kita sedang diterpa beragam bencana. Belum lalai dengan banjir bandang di Wasior, Papua, dan banjir Jakarta yang membuat lumpuh transportasi, kita sudah dirundung duka dengan gempa dan tsunami di Mentawai, Sumatra Barat, serta meletusnya Gunung Merapi di Magelang dan Yogyakarta.

2.     Agaknya berbagai bencana dan terutama penangannya mesti dijadikan pelajaran dan persiapan oleh pemerintah provinsi Banten. Mengingat saat ini kelemahan sistemik dan kebijakan yang masih dirasakan masih lambat  dalam mengantisipasi berbgaai persoalan bencana. Pemerintah provinsi Banten perlu menumbuhkan Gerakan masyarakat sipil dalam kerangka melakukan konsolidasi sosial. Tentu saja hal ini akan berhasil jika pemerintah provinsi Banten mampu memberikan tauladan kepemimpinan yang sama antara ucapan dan tindakan.

3.     Penanganan bencana tentu saja tidak perlu menunggu datangnya musibah. Oleh karena itu indicator dari kesiapan dan kesigapan mengantisipasi persoalan mendasar masyarakat dapat menjadi ukuran saat ini seperti penanganan gizi buruk, kemiskinan dan potensi negative atas sempitnya lapangan pekerjaan.

4.     Tingkat solidaritas sosial itu juga mesti dimiliki oleh elite politik di Banten. elite politik mesti menggerakkan politiknya dalam menciptakan solidaritas sosial di Banten. Ada catatan tersendiri mengenai bencana dan elit politik yang kerapkali memanfaatkan untuk kepentingan politis. Bencana harus disikapi dengan sikap kemanusiaan, membela rasa kemanusiaan kita, bukan ajang kampanye politik.

5.     Bung Karno kerapkali mengingatkan bahwa persatuan akan menjadikan Indonesia terus bangkit. Artinya Banten mesti bangkit dan menjadi contoh bersatunya pluralitas menghadapi keterpurukan dengan keberagaman antarwarga bangsa tanpa harus membatasi komunitas, ras, suku, dan agama akan menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang bangkit menuju pencerahan. Solidaritas social di Banten akan menjadi modal fundamental membangun peradaban Banten yang dulu pernah jaya pada masa keemasan Sultan Ageng Tirtayasa.










GEPENG DI BANTEN

1.      Orang gila (orgil) serta gelandangan dan pengemis (gepeng) belakangan ini tampak makin banyak berkeliaran di kawasan Kota Rangkasbitung, Pandeglang, Serang, dan Cilegon. Khusus orang gila, bahkan ada yang tidak mengenakan busana sama sekali, tapi setiap hari tampak hilir mudik di sekitar pasar dan Stasiun Kereta Api Rangkasbitung.

2.      Para pengemis dari berbagai kelompok usia juga tampak memadati hampir setiap kompleks perumahan yang ada di Serang, Rangkasbitung, dan Cilegon. Tidak sedikit kalangan pemerintahan yang percaya bahwa maraknya gepeng (gelandangan dan pengemis) yang mulai marak di Banten sengaja didrop oleh pihak-pihak tertentu (termasuk pemerintah daerah lain karena kewalahan atas eksistensi gepeng didaerahnya).

3.      Dalam konteks pembahasan di atas ini maka saya ingin mengatakan dua hal paling prinsip, pertama, yakni gepeng juga merupakan warga Negara Indonesia yang tidak boleh dianggap sampah dan beban suatu pemerintahan. Oleh karena itu penyikapan “jika benar terjadi adanya droping atas gepeng” adalah bentuk dari pelanggaran bernegara. Kedua, merupakan kewajiban pemerintah dimanapun lokasinya untuk memelihara gepeng sebagai amanat konstitusi yang mengatakan bahwa tugas dan kewajiban negaralah untuk memuliakan segenap manusia Indonesia dari segenap bencana yang ada termasuk kemiskinan.

4.      Provinsi Banten perlu menjadi provinsi pelopor untuk segera menangani gepeng secara sistematis dan bermartabat dalam kerangka memuliakan martabat dan harkat manusia Indoensia yang ada di Banten

PARTAINYA WONG CILIK


(Memperingati PDI Perjuangan ke 38 Tahun)

Oleh
Ananta Wahana, SH.
Sekretaris DPD PDI Pejuangan Banten
Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Banten

Hari ini genap sudah usia PDI Perjuangan ke 38 tahun. Lahir pada 10 Januari 1973 lalu, Hasil dari fusi lima partai politik. Yakni  Parkindo, Partai Katolik, IPKI, Murba dan PNI yang  didirikan oleh Bung Karno pada 4 Juli 1927. Bung Karno, tercatat sebagai satu fragmen dari ‘the Founding Father’-nya Indonesia. Sikap revolusioner, berwibawa, tegas, didukung pula dengan pemikiran yang brilian, menempatkan ia pada posisi penting dalam sejarah pemikir politik Indonesia. Hasilnya, lahir ide besar Nasionalisme Indonesia. Menurut Bung Karno, seorang Nasionalis sejati adalah orang yang bersedia berbakti dan memperbaiki nasib kaum marhaen dari segala kemelaratan serta melindungi rakyat dari penindasan.
Fusi tersebut tentu saja atas pressure Orde Baru yang menghendaki adanya pengerdilan atas idiologi partai. Kini PDI Perjuangan, tidak lagi mempermasalahkan fusi tersebut. Karena Ketua Umum PDI Perjuangan sudah menyatakan tuntas fusi  untuk kembali kepada jalan ideologi Pancasila 1 Juni 1945, di Denpasar, Bali April 2010 yang lalu. Pidato Ibu Megawati Soekarno Putri ini sangat bermakna di tengah kekosongan pidato berisi muatan ideologis dalam demokrasi liberal saat ini.
Pidato Ketua Umum Partai Moncong Putih  ini mengamanatkan : Kita diajarkan dan ditakdirkan oleh sejarah bahwa perjuangan mengangkat harkat-martabat wong cilik seperti yang dilakukan Bung Karno adalah lebih utama dari urusan bagi-bagi kekuasaan. Saya ingin tegaskan bahwa dalam dialektika dengan rakyat tugas sejarah setiap kader akan dinilai dan tugas sejarah dari partai akan ditimbang. Saya berkeyakinan, dalam kegotong-royongan dan permusyawaratan dengan rakyat, masa depan PDI Perjuangan akan menemukan puncak keemasannya. Karenanya sebagai kader, kita harus berbangga bukan ketika kita bersekutu dengan kekuasaan, tapi ketika kita bersama-sama menangis dan bersama-sama tertawa dengan rakyat.”
Selanjutnya, Ibu Megawati mengatakan dalam pidatonya : ”Sebagai partai ideologis posisi kita sangat jelas, kita tidak akan pernah menjadi bagian dari kekuasaan yang tidak berpihak pada wong cilik. Apalagi dari sudut ketata-negaraan yang kita anut, diskursus mengenai oposisi-koalisi tidak punya pondasi untuk diperdebatkan. Kita tidak perlu terjebak dalam diskursus semacam ini.”




Pidato Ibu Megawati Soekarno Putri di atas tidak berarti menempatkan PDI Perjuangan menjadi anti kekuasaan. Tetapi makna dari pidato tersebut untuk menegaskan bahwa jika PDI Perjuangan harus memegang tampuk pemerintahan, biarkan itu terjadi karena kehendak rakyat. Dan sebaliknya, jika rakyat menghendaki kita menjadi kekuatan penyeimbang agar prinsip checks and balances bisa berjalan, biarkan kehendak rakyat itu terjadi.
Sebagai kekuatan pengontrol dan penyeimbang, PDI Perjuangan  bukan saja diwajibkan untuk mengkritik. Tapi juga untuk mengajukan berbagai alternatif kebijakan. Bagi kepentingan bangsa ini, hal ini sangat strategis karena akan tersedia pilihan-pilihan yang semakin beragam bagi masyarakat untuk memilih.
Ada yang menganggap bahwa Mega hanya “jual kecap”, pidato tersebut hanya pemanis yang dibuat-buat untuk memulihkan citra politik PDI Perjuangan. Sebagian lagi menganggap, Pidato Putri Bung Karno ini tak lebih dari sebuah melodrama politik. Namun apapun tudingan itu, bagi saya, segala sesuatu itu harus diletakkan pada konteksnya dan ditimbang sesuai ukurannya.
Ditengah pragmatisme politik yang menggila, masih tampak pada masyarakat, harapan kepada PDI Perjuangan kembali untuk memperoleh  kemenangan partai untuk mewujudkan kesejahteraan dan berkemakmuran Masyarakat. Inilah tugas terberat PDI Perjuangan dalam rangka memperingati hari ulang tahunnya kali ini. Dalam konteks ini, Bung Karno berpesan : “dalam upaya menjaga bara perjuangan, “kita masih hidup dalam alam perjuangan dan kita akan tetap hidup dalam alam perjuangan itu, dalam arti yang luas. Untuk dapat berjuang, maka sesuatu bangsa harus mempunyai kemauan untuk berjuang dan pemimpin berkewajiban menghidupkan kemauan untuk perjuangan itu. Pemimpin harus mengaktivir massa untuk berjuang. Dan dengan suatu partai yang menuntun Rakyat di dalam menuju kepada maksud dan cita-cita, partailah yang memegang obor, partailah yang jalan di muka, partailah yang menyuluhi jalan yang penuh dengan ranjau sehingga menjadi jalan terang. Dalam pada itu, partai tidak boleh menjadi mesin yang tidak bernyawa dan tak berubah. Partai yang demikian itu adalah partai yang tidak hidup, dan topan zaman akan segera menyapunya dari muka bumi.“ 
Pemikiran besar  Bung Karno, amanat Megawati untuk kembali ke jalan ideologi dan penetrasi liberalisme ke dalam setiap sum-sum tulang Nasionalisme Indonesia, pada akhirnya mesti dimuarakan pada pentingnya mengimplementasikan secara sungguh-sungguh perjuangan mengangkat wong cilik pada ulang tahun PDI Perjuangan kali ini.






Sebagai partai besar yang dikenal berbasis pada wong cilik, agenda politik yang berpihak pada peningkatan kualitas kehidupan rakyat menjadi signifikan dalam setiap program dan evaluasi partai. Artinya, keseimbangan partai dan tolok ukur keberhasilan partai sudah seharusnya diletakkan pada kemampuan partai menjadi “pengawal” kepentingan rakyat. Hal inilah yang sesungguhnya menjadi pekerjaan rumah terbesar bagi PDI Perjuangan ke depan di tengah krisis kepemimpinan dan edukasi partai politik secara nasional.
Di Banten, resistensi wong cilik atas kekuasaan masih cukup  tinggi. Lemahnya bargaining position wong cilik terhadap segenap perangkat kekuasaan menyebabkan wong cilik hampir selalu berada pada posisi marginal. Gizi buruk, minimnya akses masyarakat terhadap pendidikan berkualitas, kesehatan dan pekerjaan serta penghidupan yang layak menjadi sederet masalah wong cilik yang masih mengedepan.   Dalam praksis politik bisa jadi partai politik apapun mengalami penurunan kepercayaan publik, namun saya meyakini PDI Perjuangan masih menjadi tumpuan pilihan untuk kembali ke jalan yang benar, yakni jalan ideologi. Jalan yang dibangun untuk dilalui wong cilik menuju harapan dan masa depannya. Karena kedekatan PDI Perjuangan selama ini dengan wong cilik adalah pilihan ideologi.
Karena itu, fungsi dan peranan partai politik dalam proses interaksi antara negara dengan rakyat dalam wujud kebijakan publik, mesti mengubah dirinya menjadi partai modern. Sebab, bila partai politik tidak dapat beranjak dari fungsi konvensionalnya yang sebatas perebutan kekuasaan semata, maka dalam konteks dinamika sosial yang ada, partai politik tidak akan menemukan makna perjuangannya.
Kini, masyarakat tidak lagi memandang politik sebatas ikatan ideologis dan keyakinan semata. Masyarakat modern lebih melihat po­litik sebagai proses aktualisasi diri dan kepentingan mereka yang akan diwujudkan dalam bentuk kebijakan publik. Dalam hal ini apa yang disebut dengan partisipasi rakyat menjadi satu kunci dalam mengidentifikasi kiprah lembaga-lembaga sosial politik, dalam hal ini partai politik.
Seberapa jauh PDI Perjuangan mampu menuntaskan pekerjaan ideologinya untuk bersama-sama wong cilik melakukan perubahan ? Jawabannya tentu saja terletak pada semangat juang para pekerja partai untuk melakukan serangkaian momentum politik yang mendekatkan wong cilik pada hakikat legitimasinya: pemilik kedaulatan yang berhak untuk hidup jauh lebih baik di negerinya sendiri. Dirgahayu PDI Perjuangan Yang ke 38 Tahun semoga ke depan lebih baik. Merdeka !!!!! 

PDI Perjuangan Harus Menjadi Partainya Wong Cilik

Hari ini 10 Januari 2011 PDI Perjuangan tepat 38 Tahun. Sebagai Partai, tentunya di hari ulang tahun ini sangat penting bila dipakai sebagai momentum untuk melihat perjalanannya di tenga-tengah masyarakat sekaligus untuk mengukuhkan kembali komitmennya. Oleh karena itu, penting kami menyampaikan hal sebagai berikut :

1.   PDI Perjuangan lahir pada 10 Januari 1973 lalu, hasil dari fusi lima partai politik. Yakni  Parkindo, Partai Katolik, IPKI, Murba dan PNI yang  didirikan oleh Bung Karno pada 4 Juli 1927. Fusi tersebut tentu saja atas pressure Orde baru yang menghendaki adanya pengerdilan atas idiologi partai.

2.   Syukur alhamdullilah sekarang  PDI Perjuangan telah mampu melewati upaya pensiasatan Orba dalam upaya pengkerdilan itu. Ini ditandainya dengan mampunya melakukan TUNTAS FUSI yaitu PDI Perjuangan tidak lagi mempermasalahkan fusi. Ketua Umum PDI Perjuangan beserta seluruh kader partai telah bertekad untuk mengambil ideologi Pancasila 1 Juni 1945 sebagai jalan ideologinya.

3.  Penegasan hal tersebut diusampaikan kembali pada saat Kongres PDI Perjuangan III di Denpasar, Bali April 2010 yang lalu : “Kita diajarkan dan ditakdirkan oleh sejarah bahwa perjuangan mengangkat harkat-martabat wong cilik seperti yang dilakukan Bung Karno adalah lebih utama dari urusan bagi-bagi kekuasaan. Saya ingin tegaskan bahwa dalam dialektika dengan rakyat tugas sejarah setiap kader akan dinilai dan tugas sejarah dari partai akan ditimbang. Saya berkeyakinan, dalam kegotong-royongan dan permusyawaratan dengan rakyat, masa depan PDI Perjuangan akan menemukan puncak keemasannya. Karenanya sebagai kader, kita harus berbangga bukan ketika kita bersekutu dengan kekuasaan, tapi ketika kita bersama-sama menangis dan bersama-sama tertawa dengan rakyat. Sebagai  partai ideologis posisi kita sangat jelas, kita tidak akan pernah menjadi bagian dari kekuasaan yang tidak berpihak pada wong cilik. Apalagi dari sudut ketata-negaraan yang kita anut, diskursus mengenai oposisi-koalisi tidak punya pondasi untuk diperdebatkan. Kita tidak perlu terjebak dalam diskursus semacam ini.

4.  Hal tersebut di atas tidak berarti menempatkan PDI Perjuangan menjadi anti kekuasaan. Namun  menegaskan bahwa jika PDI Perjuangan harus memegang tampuk pemerintahan, biarkan itu terjadi karena kehendak rakyat. Dan sebaliknya, jika rakyat menghendaki kita menjadi kekuatan penyeimbang agar prinsip checks and balances bisa berjalan, biarkan kehendak rakyat itu terjadi. Sebagai kekuatan pengontrol dan penyeimbang, PDI Perjuangan  bukan saja diwajibkan untuk mengkritik. Tapi juga untuk mengajukan berbagai alternatif kebijakan. Bagi kepentingan bangsa ini, hal ini sangat strategis karena akan tersedia pilihan-pilihan yang semakin beragam bagi masyarakat untuk memilih.




5.   Di Banten, resistensi wong cilik atas kekuasaan masih cukup  tinggi. Lemahnya bargaining position wong cilik terhadap segenap perangkat kekuasaan menyebabkan wong cilik hampir selalu berada pada posisi marginal. Gizi buruk, minimnya akses masyarakat terhadap pendidikan berkualitas, kesehatan dan pekerjaan serta penghidupan yang layak menjadi sederet masalah wong cilik yang masih mengedepan.    Dalam praksis politik bisa jadi partai politik apapun mengalami penurunan kepercayaan publik, namun saya meyakini PDI Perjuangan masih menjadi tumpuan pilihan untuk kembali ke jalan yang benar, yakni jalan ideologi. Jalan yang dibangun untuk dilalui wong cilik menuju harapan dan masa depannya. Karena kedekatan PDI Perjuangan selama ini dengan wong cilik adalah pilihan ideologi.

6.   PDI Perjuangan perlu mengubah dirinya menjadi partai modern. Sebab, bila partai politik tidak dapat beranjak dari fungsi konvensionalnya yang sebatas perebutan kekuasaan semata, maka dalam konteks dinamika sosial yang ada, partai politik tidak akan menemukan makna perjuangannya. Kini, masyarakat tidak lagi memandang politik sebatas ikatan ideologis dan keyakinan semata. Masyarakat modern lebih melihat po­litik sebagai proses aktualisasi diri dan kepentingan mereka yang akan diwujudkan dalam bentuk kebijakan publik. Dalam hal ini apa yang disebut dengan partisipasi rakyat menjadi satu kunci dalam mengidentifikasi kiprah lembaga-lembaga sosial politik, dalam hal ini partai politik.

7. Seberapa jauh PDI Perjuangan mampu menuntaskan pekerjaan ideologinya untuk bersama-sama wong cilik melakukan perubahan ? Jawabannya tentu saja terletak pada semangat juang para pekerja partai untuk melakukan serangkain momentum politik yang mendekatkan wong cilik pada hakikat legitimasinya: pemilik kedaulatan yang berhak untuk hidup jauh lebih baik di negerinya sendiri. Dirgahayu PDI Perjuanagan, semoga ke depan lebih baik. Merdeka !!!!! 


Ananta Wahana Sekretaris DPD PDI Perjuangan Banten